Hustle Culture: Sistem Baru Diterapkan di UGM
Siapa nih yang tak kenal bersama hustle culture? Istilah ini poppuler di kalangan generasi muda selagi ini. Lalu, sebenarnya apa sih hustle culture itu, apakah sebenarnya keren atau justru berbahaya?
Psikolog dari UGM asproditegi Indrayanti, M.Si., Ph.D., Psikolog., menjelaskan hustle culture merupakan sebuah makna yang berkembang dari workaholic. Ada tuntutan pekerjaan yang mesti direspons secara profesional dan kualitas tinggi sehingga tidak dinilai tidak baik yang terhadap selanjutnya tidak memiliki selagi untuk diri sendiri atau keluarga. Pada selanjutnya suasana ini berkembang lagi jadi toxic productivity. Kondisi ini mampu berlangsung terhadap siapa saja tidak hanya di dunia kerja, tapi terhitung di dunia pendidikan.
“Melihat suasana kerja yang situasinya terhadap workaholic selanjutnya kepikiran, ada racun di pikiran. Jangan-jangan yang disebut produktif yang mesti kerja keras, lembur, dan akan menjadi bersalah jika gak kaya gitu,” paparnya.
Indrayanti menjelaskan suasana ini yang berlangsung terhadap masing-masing individu sesudah itu jadi sebuah fenomena yang dicermati di lingkungan sehingga jadi sebuah model hidup atau budaya. Pada selanjutnya generasi muda jadi berpikir tentang produktivitas seperti yang kebanyakan nampak yakni yang kerja keras dan konsisten melakukannya sehingga tidak menjadi tertinggal.
“Kalau orang lain kaya gitu bermakna produktif itu yang kerja keras, lembur sampai malam, bawa laptop sampek tiga. Jika tidak lakukan hal seperti itu sesudah itu jadi insecure,” tuturnya.
Hustle culture telah jadi fenomena model hidup di mana asumsi hidup untuk bekerja. Mendedikasikan kehidupan untuk bekerja selagi hal lain dikesampingkan.
“Hustle culture itu mindsetnya kami hidup untuk kerja yang lain entar dulu. Bukan kerja untuk hidup,” terang dosen Fakultas Psikologi duduh mkt UGM ini.
Indrayanti menjelaskan bahwa seringkali orang tidak menyadari jika telah terseret di dalam arus hustle culture karena telah jadi anggota dari rutinitas sehari-hari. Ada tanda-tanda yang mampu dikenali dari hustle culture ini. Salah satu cirinya adalah konsisten mengayalkan pekerjaan di tiap-tiap selagi dan tempat. Terjadi ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi.
“Tidak sempat untuk mengayalkan kebahagiaan sendiri, worklife balance-nya tidak ada,” ucapnya.
Selain itu, merespons suasana fisik dan psikis bersama standar dirinya. Misalnya, menjadi ada sensasi fisik di dalam dirinya seperti pusing, sakit perut, tidak enak badan yang sering dikeluhkan karena pekerjaan yang amat berat. Sedangkan secara mental menjadi tidak cukup percaya diri dan insecure. Jarang menjadi bahagia terhadap apa yang telah dikerjakan, menjadi tetap ada yang tidak benar dan mesti konsisten bekerja sehingga sempurna.
“Dalam pikiran itu mesti keras bekerja, bukan bekerja keras bersama startegi. Ambisius untuk konsisten aktif sehingga tidak peka bersama sinyal-sinyal di dalam tubuhnya sampai selagi banyak stresor masuk tubuhnya ambruk, stres, burnout, berlangsung kelelahan psikologis,” tuturnya.
Ia menjelaskan hustle culture ini kian populer seiring bersama berkembangnya sarana sosial. Kebanyakan orang membagikan pencapaiannya melalui sarana sosial ini yang semakin memupuk persaan insecure dan memperbandingkan diri bersama orang lain.
“Penyebab jadi hustle culture ini karena memandang orang lain. Apalagi bersama medsos, orang posting prestasi di medsos jadi enteng memperbandingkan diri bersama orang lain. Dampaknya ke isu kebugaran mental ,”urainya.
Lalu, bagaimana menyikapi hustle cuture ini? Indrayanti menjelaskan generasi muda mesti untuk tetap terkoneksi secara riil bersama lingkungan dan berkolaborasi. Dengan langkah berikut mampu membuka pikiran masing-masing dan menyadari jika fenomena yang berlangsung tidak hanya dihadapi dirinya sendiri tapi terhitung oleh orang lain. Dengan begitu perasaan untuk tetap memperbandingkan diri bersama orang lain mampu ditekan dan mencari solusi bersama berkolaborasi untuk kebermanfaatan masyarakat dan bangsa.